Ada sebagian
orang menduga bahwa kata Easter itu berasal dari nama dewi Ishtar (Sumeria)
atau dewi Eostre/Astarte (Teutonik). Hal ini membuat istilah Easter dianggap
sebagai warisan budaya atau tradisi kuno yang bertentangan dengan nilai-nilai
Kristiani. Sebenarnya tidak ada hubungan antara dewi Ishtar dengan Easter atau
hari raya Paskah karena hanya terletak pada kemiripan bunyinya saja, bukan pada
maknanya.
Jika
ditelusuri lebih jauh, penamaan hari-hari dalam bahasa Inggris juga dianggap
berasal dari nama-nama dewa, antara lain Sunday (dewa Matahari), Monday (dewa
Bulan), Tuesday (dewa Tiu), Wednesday (dewa Woden), Thursday (dewa Thor),
Friday (dewa Freya), dan Saturday (dewa Saturnus). Hal ini membuat Kekristenan
dianggap sebagai agama yang sudah dicemari oleh tradisi-tradisi agama dewa-dewa
kuno. Padahal, Kekristenan tidak pernah berawal dari bahasa Inggris.
Kekristenan berawal dari bahasa Aram, Ibrani, dan Yunani. Dengan demikian, baik
penamaan hari-hari dalam bahasa Inggris maupun penamaan istilah Easter dalam
bahasa Inggris tidak ada hubungannya dengan Kekristenan.
Istilah
Easter sendiri sebenarnya lebih dekat dengan kata Easter yang berakar dari kata
Eostur, yang artinya musim kebangkitan yang mengacu pada musim semi. Oleh
karena itu, kata lain untuk musim semi dalam bahasa Inggris adalah Easter dan
dalam bahasa Jerman kuno adalah Eastur. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada
masalah yang berarti dengan penyebutan istilah Easter maupun Passover dalam
bahasa Inggris. Namun, alangkah lebih baiknya kita menggunakan istilah yang
lebih sering disebutkan dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris, yaitu istilah
Passover.